A. Latar Belakang
Kita telah memasuki suatu era yang
dikenal dengan era globalisasi. Era ini dapat pula dipandang sebagai era
pengetahuan karena pengetahuan akan menjadi landasan utama segala aspek
kehidupan. Era pengetahuan merupakan suatu era dengan tuntutan yang lebih rumit
dan menantang. Suatu era dengan spesifikasi tertentu yang sangat besar
pengaruhnya terhadap dunia pendidikan dan lapangan kerja. Perubahan-perubahan
yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, juga
diakibatkan oleh perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan,
psikologi, dan transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknya adalah perubahan cara
pandang manusia terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan, perubahan
peran orang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar mereka.
Trilling dan Hood (1999)
mengemukakan bahwa perhatian utama pendidikan di abad pengetahuan adalah untuk
mempersiapkan hidup dan kerja bagi masyarakat. Tibalah saatnya menoleh sejenak
ke arah pandangan dengan sudut yang luas mengenai peran-peran utama yang akan
semakin dimainkan oleh pembelajaran dan pendidikan dalam masyarakat yang
berbasis pengetahuan.
Kemerosotan pendidikan di Indonesia
sudah terasakan selama bertahun-tahun, untuk kesekian kalinya kurikulum
dituding sebagai penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah
kurikulum mulai kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984, kemudian diganti
dengan kurikulum 1994, dan kini diganti lagi dengan kurikulum 2007. Apabila
kita analisa, kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi
oleh kurangnya profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa.
Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran guru dalam melaksanakan tugasnya,
sangat dipengaruhi oleh dua faktor besar yaitu faktor internal yang meliputi
minat dan bakat dan faktor eksternal yaitu berkaitan dengan lingkungan sekitar,
sarana prasarana, serta berbagai latihan yang dilakukan guru (Sumargi, 1996).
Profesionalisme guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai utamanya dalam
hal bidang keilmuannya. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau guru
Bahasa Inggris dapat mengajar Bahasa Indonesia. Memang jumlah tenaga pendidik
secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu dan profesionalisme belum
sesuai dengan harapan. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan
menyampaikan materi yang keliru sehingga mereka tidak atau kurang mampu
menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas
(Dahrin, 2000).
Tidak dapat disangkal lagi bahwa
profesionalisme guru merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda
lagi, seiring dengan semakin meningkatnya persaingan yang semakin ketat dalam
era globalisasi, terutama dalam bidang pendidikan. Salah satu upaya yang
dilakukan pemerintah untuk meningkatkan profesionalisme guru adalah melalui
sertifikasi yang merupakan sebuah proses ilmiah yang memerlukan
pertanggungjawaban moral dan akademis. Hal ini tersirat dalam UU Sistem
Pendidikan Nasional mewajibkan setiap tenaga pendidik harus memiliki kualifikasi
minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar yang
dimilikinya (Pasal 42). Sertifikasi dibutuhkan untuk mempertegas standar
kompetensi yang harus dimiliki para guru dan dosen sesuai dengan bidang
keilmuannya masing-masing.
B. Peran, Tugas dan Tanggung Jawab
Guru dalam Pendidikan
Kehadiran guru dalam proses belajar
mengajar masih tetap memegang peranan penting. Peranan guru dalam proses
tersebut belum dapat digantikan oleh alat-alat elektronik apapun, masih banyak
unsur-unsur manusiawi seperti sikap, sistem nilai, perasaan, motivasi, dan
hal-hal yang berkaitan dengan proses pembelajaran, tidak dapat dicapai melalui
alat-alat tersebut. Sedikitnya terdapat 19 peran guru dalam pendidikan, yaitu;
1) pendidik, 2) pengajar, 3) pembimbing, 4) pelatih, 5) penasehat, 6)
pembaharu, 7) model dan teladan, pribadi, 9) peneliti, 10) mendorong
kreativitas, 11) pembangkit pandangan, 12) pekerja rutin, 13) pemindah kemah,
14) pembawa cerita, 15) aktor, 16) emansipator, 17) evaluator, 18) penga-wet,
dan 19) kulminator. (Pullias dan Young, Manan, Yelon dan Weinstein dalam
Mulyadi (2005)). Peran-peran guru tersebut terangkum dalam tugas dan tanggung
jawabnya sebagai alat pendidikan, sebagamana menurut Amstrong bahwa terdapat
lima kategori tugas dan tanggung jawab profesi guru sebagai alat pendidikan,
yaitu; 1) tanggung jawab dalam pengajaran, 2) tanggung jawab dalam memberi
bimbingan, 3) tanggung jawab dalam mengembangkan kurikulum, 4) tanggung jawab
dalam mengembangkan profesi, dan 5) tanggung jawab dalam membina hubungan dalam
masyarakat.
Tanggung jawab dalam pengajaran
lebih menekankan tugas guru dalam merencana-kan dan melaksanakan pengajaran.
Dalam tugas ini, guru dituntut memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan
teknis mengajar, selain menguasai ilmu atau bahan yang akan diajarkannya.
Tanggung jawab dalam memberi bimbingan menekankan pada tugas guru dalam memberi
bantuan kepada siswa dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Tugas ini
merupakan aspek mendidik sebab tidak hanya berkenaan dalam penyampaian ilmu
pengetahuan, tetapi juga menyangkut pengembangan kepribadian dan pembentukan
nilai-nilai pada siswa. Tanggung jawab mengembangkan kurikulum menekankan pada
tugas guru untuk selalu mencari ide baru dalam penyempurnaan metode pengajaran.
Tanggung jawab pengembangan profesi pada dasarnya adalah tuntutan dan panggilan
untuk mencintai, menghargai, menjaga dan meningkatkan tugas dan tanggung jawab
profesinya. Tanggung jawab dalam membina hubungan dalam masyarakat berarti guru
harus dapat berperan menempatkan sekolah sebagai integral dari masyarakat serta
sekolah sebagai pembaharu masyarakat.
C. Gambaran Pendidikan di Era
Globalisasi
Para ahli mengatakan bahwa era
globalisasi merupakan era pengetahuan karena pengetahuan menjadi landasan utama
segala aspek kehidupan. Menurut Naisbit (1995) ada 10 kecenderungan besar yang
akan terjadi pada pendidikan di era globalisasi yaitu; 1) dari masyarakat
industri ke masyarakat informasi, 2) dari teknologi yang dipaksakan ke
teknologi tinggi, 3) dari ekonomi nasional ke ekonomi dunia, 4) dari
perencanaan jangka pendek ke perencanaan jangka panjang, 5) dari sentralisasi
ke desentralisasi, 6) dari bantuan institusional ke bantuan diri, 7) dari
demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris, dari hierarki-hierarki ke
penjaringan, 9) dari utara ke selatan, dan 10) dari pilihan biner ke pilihan
majemuk. Berbagai implikasi kecenderungan tersebut berdampak terhadap dunia
pendidikan yang meliputi aspek kurikulum, manajemen pendidikan, tenaga
kependidikan, strategi dan metode pendidikan. Selanjutnya Naisbitt (1995)
mengemukakan ada 8 kecenderungan besar di Asia yang ikut mempengaruhi dunia
yaitu; 1) dari negara bangsa ke jaringan, 2) dari tuntutan eksport ke tuntutan
konsumen, 3) dari pengaruh Barat ke cara Asia, 4) dari kontrol pemerintah ke
tuntutan pasar, 5) dari desa ke metropolitan, 6) dari padat karya ke teknologi
canggih, 7) dari dominasi kaum pria ke munculnya kaum wanita, dan dari Barat ke
Timur. Kedelapan kecenderungan itu akan mempengaruhi tata nilai dalam berbagai
aspek, pola dan gaya hidup masyarakat baik di desa maupun di kota. Pada
gilirannya semua itu akan mempengaruhi pola-pola pendidikan yang lebih disukai
dengan tuntutan kecenderungan tersebut. Dalam hubungan dengan ini pendidikan
ditantang untuk mampu menyiapkan sumber daya manusia yang mampu menghadapi
tantangan kecenderungan itu tanpa kehilangan nilai-nilai kepribadian dan budaya
bangsanya.
Menurut Makagiansar (1996) memasuki
era glogalisasi pendidikan akan mengalami pergeseran perubahan paradigma yang
meliputi pergeseran paradigma: 1) dari belajar terminal ke belajar sepanjang
hayat, 2) dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, 3)
dari citra hubungan guru-murid yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan
kemitraan, 4) dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke
penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, 5) dari kampanye melawan buta
aksara ke kampanye melawan buat teknologi, budaya, dan komputer, 6) dari
penampilan guru yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja, 7) dari
konsentrasi eksklusif pada kompetisi ke orientasi kerja sama. Dengan
memperhatikan pendapat ahli tersebut nampak bahwa pendidikan dihadapkan pada
tantangan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam
menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan yang bersifat kompetitif.
Galbreath (1999) mengemukakan bahwa
pendekatan pembelajaran yang digunakan pada era pengetahuan adalah pendekatan
campuran yaitu perpaduan antara pendekatan belajar dari guru, belajar dari
siswa lain, dan belajar pada diri sendiri. Hal ini sangat jauh berbeda dengan
paradigma pembelajaran di era industri. Gambaran perbedaan pembelajaran di era
industri dan era globalisasi dapat dilihat pada tabel berikut ;
Era Industri
|
Era Globalisasi
|
Guru sebagai pengarah
Guru sebagai sumber pengetahuan
Belajar diarahkan oleh kurikulum
Belajar secara ketat dengan waktu
yang terbatas
Berdasarkan pada fakta
Bersifat teoritik, prinsip –
prinsip dan survei
Mengikuti norma
Komputer sebagai subyek belajar
Presentasi dengan media statis
Komunikasi sebatas ruang kelas
Tes diukur dengan norma
|
Guru sebagai fasilitator
Guru sebagai kawan belajar
Belajar diarahkan oleh siswakulum.
Belajar secara terbuka, ketat
dengan waktu fleksibel sesuai keperluan
Berdasarkan proyek dan masalah
Dunia nyata, dan refleksi prinsip
dan survei
Penyelidikan dan perancangan
Penemuan dan penciptaan
Kolaboratif
Berfokus pada masyarakat
Hasilnya terbuka
Keanekaragaman yang kreatif
Komputer sebagai media belajar
Interaksi multi media yang dinamis
Komunikasi tidak terbatas
Unjuk kerja diukur oleh pakar,
penasehat, kawan sebaya dan diri sendiri.
|
Berdasarkan tabel perbedaan
pembelajaran di era industri dan era globalisasi di atas dapat diambil beberapa
kesimpulan bahwa; 1) Pada era industri banyak dijumpai belajar melalui fakta,
drill dan praktek, dan menggunakan aturan dan prosedur-prosedur. Sedangkan di
era globalisasi menginginkan paradigma belajar melalui proyek-proyek dan
permasalahan-permasalahan, inkuiri dan desain, menemukan dan penciptaan. 2)
Betapa sulitnya mencapai reformasi yang sistemik, karena bila paradigma lama
masih dominan, dampak reformasi cenderung akan ditelan oleh pengaruh paradigma
lama. 3) Meskipun telah dinyatakan sebagai polaritas, perbedaan praktik
pembelajaran era globalisasi dan era industri dianggap sebagai suatu kontinum.
Meskipun sekarang dimungkinkan memandang banyak contoh praktek di era industri
yang “murni” dan jauh lebih sedikit contoh lingkungan pembelajaran di era
global-isasi yang “murni”, besar kemungkinannya menemukan metode persilangan
perpaduan antara metode di era globalisasi dan metode di era industri. Perlu
diingat dalam melakukan reformasi pembelajaran, metode lama tidak sepenuhnya
hilang, namun hanya digunakan kurang lebih jarang dibanding metode-metode baru.
4) Praktek pembelajaran di era globalisasi lebih sesuai dengan teori belajar
modern. Melalui penggunaan prinsip – prinsip belajar berorientasi pada proyek
dan permasalahan sampai aktivitas kolaboratif dan difokuskan pada masyarakat,
belajar kontekstual yang didasarkan pada dunia nyata dalam konteks pada
peningkatan perhatian pada tindakan-tindakan atas dorongan pembelajar sendiri.
5) Pada era globalisasi praktek pembelajaran tergantung pada piranti-piranti
pengetahuan modern yakni komputer dan tele-komunikasi, namun sebagian besar
karakteristik era globalisasi bisa dicapai tanpa memanfaat-kan piranti modern.
Meskipun teknologi informasi dan telekomunikasi merupakan katalis yang penting
yang membawa guru pada metode belajar era globalisasi, tetapi yang membedakan
metode tersebut adalah pelaksanaan hasilnya bukan alatnya.
D. Kompetensi Guru di Era
Globalisasi
Berdasarkan gambaran pendidikan di
era globalisasi terlihat bahwa pendidikan di era tersebut menuntut adanya
manajemen pendidikan yang modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan.
Lembaga-lembaga pendidikan diharapkan mampu mewujudkan peranannya secara
efektif dengan keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar,
pengembangan staf, kurikulum, tujuan dan harapan, iklim sekolah, penilaian
diri, komunikasi, dan keterlibatan orang tua/masyarakat. Tidak kalah pentingnya
adalah sosok penampilan guru yang ditandai dengan keunggulan dalam nasionalisme
dan jiwa juang, keimanan dan ketakwaan, penguasaan iptek, etos kerja dan
disiplin, profesionalisme, kerjasama dan belajar dengan berbagai disiplin,
wawasan masa depan, kepastian karir, dan kesejahteraan lahir batin. Paradigma
baru pembelajaran pada era globalisasi memberikan tantangan yang besar bagi
guru. Pada era tersebut dalam melaksanakan profesinya, guru dituntut lebih
meningkatkan profesionalitasnya.
Menurut para ahli, profesionalisme
menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahu-an atau kemampuan manajemen beserta
strategi penerapannya. Maister (1997) mengemuka-kan bahwa profesionalisme bukan
sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap,
pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki
keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang
dipersyaratkan.
Menurut Arifin, guru yang
profesional dipersyaratkan mempunyai; 1) dasar ilmu yang kuat sebagai
pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan
di era globalisasi, 2) penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan
praksis pendi-dikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya
merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di
lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada
praksis pendidikan masyarakat Indonesia, 3) pengem-bangan kemampuan profesional
berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang ber-kembang terus menerus
dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi
guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan
in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan
yang lemah.
Dengan adanya persyaratan
profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil
guru yang profesional di era globalisasi, yaitu; 1) memiliki kepribadi-an yang
matang dan berkembang, 2) penguasaan ilmu yang kuat, 3) keterampilan untuk
mem-bangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi, dan 4) pengembangan
profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan
utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut
mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.
Apabila syarat-syarat
profesionalisme guru tersebut terpenuhi, akan melahirkan profil guru yang
kreatif dan dinamis yang dibutuhkan pada era globalisasi. Hal ini sejalan
dengan pendapat Semiawan (1999), bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional
akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi
berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang
inovatif. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi
yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator,
change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator. Berdasarkan
pendapat Semiawan tersebut tampak bahwa sikap profesionalisme guru di era
globalisasi merupakan kompetensi guru di era globalisasi.
E. Uji Kompetensi Guru
Rendahnya profesionalisme guru di
Indonesia perlu menjadi perhatian secara khusus, karena guru memiliki tugas dan
peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan
teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam
era globalisasi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan
adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang
dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian
terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia
itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda
memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis,
baik sebagai individu maupun sebagai profesional.
Akadum (1999) menyatakan dunia guru
masih terselingkung dua masalah yang memiliki mutual korelasi yang pemecahannya
memerlukan kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil
kebijakan, yaitu 1) profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena
rendah gajinya. Rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya, 2) profesionalisme
guru masih rendah.
Selain faktor di atas faktor lain
yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru disebabkan oleh antara lain; 1)
masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini
disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk
meningkatkan diri tidak ada, 2) belum adanya standar profesional guru
sebagaimana tuntutan di negara-negara maju, 3) kemungkinan disebabkan oleh
adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi
tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak
guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan, 4) kurangnya motivasi
guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti
sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.
Dengan melihat adanya faktor-faktor
yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, pemerintah berupaya untuk
mencari alternatif untuk meningkatkan profesi guru, diantaranya melalui program
sertifikasi. Program sertifikasi dilakukan dengan memberikan uji kompetensi
guru. Menurut Mulyadi (2005) uji kompetensi guru memiliki manfaat yang sangat
penting, yaitu; 1) alat untuk mengembangkan standar kemampuan profesional guru,
2) alat seleksi penerimaan guru, 3) alat untuk pengelompokan guru, 4) bahan
acuan dalam pengem-bangan kurikulum, 5) alat pembinaan guru, dan 6) pendorong
kegiatan dan hasil belajar.
Materi uji kompetensi guru
dijabarkan dari kriteria profesional. Kriteria profesional jabatan guru
mencakup fisik, kepribadian, keilmuan, dan ketrampilan. Kriteria profesional
tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu:
1. Kemampuan kepribadian
Kemampuan kepribadian mencakup
beriman dan bertakwa, berwawasan pancasila, mandiri penuh tanggung jawab,
berwibawa, berdisiplin, berdedikasi, bersosialisasi dengan masyarakat, dan
mencintai peserta didik, serta kepedulian terhadap pendidikan.
2. Kemampuan mengajar
Kemampuan mengajar mencakup penguasaan
ilmu pendidikan dan keguruan, penguasaan kurikulum, penguasaan didaktik
metodik, penguasaaan pengelolaan kelas, pelaksanaan monitoring, dan evaluasi
peserta didik, serta pengembangan dan aktualisasai diri.
3. Keterampilan mengajar
Keterampilan mengajar mencakup
keterampilan bertanya, memberi penguatan, mengada-kan variasi, menjelaskan,
membuka dan menutup pelajaran, membimbing diskusi kelom-pok, mengelola kelas,
dan mengajar kelompok kecil dan perorangan.
Dari upaya sertifikasi yang telah
dilakukan pemerintah di atas, faktor yang paling penting agar guru-guru dapat
meningkatkan kualifikasi dirinya yaitu dengan menyetarakan banyaknya jam kerja
dengan gaji guru. Program apapun yang akan diterapkan pemerintah tetapi jika
gaji guru rendah, jelaslah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya guru akan mencari
pekerjaan tambahan untuk mencukupi kebutuhannya. Tidak heran kalau guru-guru di
negara maju kualitasnya tinggi atau dikatakan profesional, karena penghargaan
terhadap jasa guru sangat tinggi. Di Amerika Serikat hal ini sudah lama berlaku
sehingga tidak heran kalau pendidikan di Amerika Serikat menjadi pola anutan
negara-negara ketiga. Di Indonesia telah mengalami hal ini tetapi ketika jaman
kolonial Belanda. Setelah memasuki jaman orde baru semua ber ubah sehingga kini
dampaknya terasa, profesi guru menduduki urutan terbawah dari urutan profesi
lainnya seperti dokter, jaksa, dll.
F. Kesimpulan
Peranan guru dalam pendidikan
terletak pada tugas dan tanggung jawabnya dalam melaksanakan profesinya sebagai
alat pendidikan. Tugas dan tanggung jawab tersebut berkaitan erat dengan
kemampuan dasar yang disyaratkan untuk memangku jabatan profesi. Kemampuan
dasar itu adalah kompetensi guru, yang merupakan profesionalisme guru dalam
melaksanakan profesinya.
Kemerosotan pendidikan bukan
diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru
dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme menekan-kan kepada penguasaan
ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya.
Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih
merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan
hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang
dipersyaratkan.
Paradigma baru pembelajaran pada era
globalisasi memberikan tantangan yang besar bagi guru untuk lebih meningkatkan
profesionalitasnya. Guru yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh
attitudenya yang berarti pada tataran kematangan yang mempersyaratkan keinginan
dan kemampuan, baik secara intelektual maupun kondisi fisik yang prima. Dengan
demikian diperlukan alat untuk melahirkan profil guru yang dibutuhkan pada era
globalisasi. Alat ukur tersebut adalah sertifikasi kompetensi guru melalui uji
kompetensi yang mencakup kepribadian, kemampuan mengajar, dan keterampilan
mengajar. Uji kompetensi guru ini perlu dilakukan secara kontinu untuk
mengetahui perkembangan profesionalisme guru. Dengan demikian hasil uji
kompetensi guru tersebut dapat digunakan setiap saat, baik untuk kenaikan
jabatan, penempatan, maupun pemberian penghargaan bagi guru.
DAFTAR PUSTAKA
Akadum. 1999. Potret Guru Memasuki Milenium Ketiga.
Suara Pembaharuan. (Online) http://www.suara
pembaharuan.com/News/1999/01/220199/OpEd.
Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana
Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di
Universitas Muham-madiyah Malang, 25-26 Juli 2001.
Dahrin, D. 2000. Memperbaiki Kinerja Pendidikan
Nasional Secara Komprehensip: Transformasi Pendidikan. Komunitas, Forum Rektor
Indonesia. Vol.1 No. Hlm 24.
Hamalik, O. 2006. Pendidikan Guru (Berdasarkan
Kompetensi). Bumi Aksara. Jakarta.
Hasan, A.M. 2003. Pengembangan Profesionalisme Guru di
Abad Pengetahuan. http://artikel.us/amhasan.html
Makagiansar, M. 1996. Shift in Global paradigma and
The Teacher of Tomorrow, 17th. Convention of the Asean Council of Teachers
(ACT); 5-8 Desember, 1996, Republic of Singapore.
Mulyasa, E. 2005. Menjadi Guru Profesional. Remaja
Rosdakarya. Bandung.
Naisbitt, J. 1995. Megatrend Asia: Delapan Megatrend
Asia yang Mengubah Dunia, (Alih bahasa oleh Danan Triyatmoko dan Wandi S.
Brata): Jakarta: Gramdeia.
Nasanius, Y. 1998. Kemerosotan Pendidikan Kita: Guru
dan Siswa Yang Berperan Besar, Bukan Kurikulum. Suara Pembaharuan. (Online)
(http://www.suara pembaharuan.com/News/1998/08/230898, diakses 7 Juni 2001).
Hlm. 1-2.
Semiawan, C.R. 1991. Mencari Strategi Pengembangan
Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta: Grasindo.
Supriadi, D. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru.
Jakarta: Depdikbud.